Feureau

1.5M ratings
277k ratings

See, that’s what the app is perfect for.

Sounds perfect Wahhhh, I don’t wanna
image

Robert Rollo Gillespie (1766-1814) was a British Army officer who served in the French Revolutionary Wars, the Vellore mutiny, the Invasion of Java, and the Anglo-Nepalese War. He was known for his courage and leadership, and was described by the Army’s historian Sir John Fortescue as “The bravest man ever to wear a red coat”.

Gillespie was born in Comber, County Down, Ireland. He joined the British Army in 1783 and served in the French Revolutionary Wars. In 1806, he led a successful attack on the Vellore Mutiny in India. In 1811, he commanded an expeditionary force that captured the island of Java from the Dutch. In 1814, he was killed in action at the Battle of Nalapani during the Anglo-Nepalese War.

Gillespie was a charismatic and popular leader. He was known for his personal bravery and his willingness to lead from the front. He was also a skilled tactician and strategist. His death was a major blow to the British Army, and he is remembered as one of the greatest British military leaders of his era.

Generative AI

Romo Dipo: Keturunan Pangeran Diponegoro


Sunarti Suwandi


Dari Solo, Romo Dipo, seorang keturunan Pangeran Diponegoro menceritakan silsilah dan riwayat leluhurnya. Dipo, memang singkatan dari Diponegoro. Usianya yang 104 tahun pun memancing tanya: Apa resep awet mudanya?


Kembali ke Jawa


Sebuah papan nama di sebuah rumah bambu di Jalan Warung Miri, Solo bertuliskan: Fr, BRMH. Hartogh Diponegoro Homopat. Ini artinya penghuninya adalah seorang ahli pengobatan.

Rumah yang sederhana itu dipenuhi dengan empat buah kursi tamu yang sudah tua. Sebuah tulisan di dinding membuat langkah ini tertegun. “Tamu diharap duduk yang sopan. Bila tidak sopan tidak akan diterima.” Saya jadi ragu. Duduk, tidak? Atau menunggu dipersilakan?


> Pangeran Diponegoro, leluhur Romo Dipo


Untung, seorang ibu menyambut dengan ramah. Rupanya, ialah istri dari BRMH Hartogh Diponegoro yang lebih dikenal dengan sebutan Romo Dipo. Di belakangnya menyusul sejumlah “brigade” anak-anak, yang terdiri dari putra dan cucu, menemani berbincang. Selama itu, Romo Dipo belum juga muncul, “Bapak kalau dandan memang lama,” sang Istri tersenyum. Setengah jam kemudian, barulah yang ditunggu bergabung. Seorang lelaki yang nampaknya baru berusia 70 tahun, mengenakan hem lengan panjang, lengkap dengan dasi, manset dan peniti dasi. Bercelana panjang, bersisir rapi dengan bau minyak rambut yang semerbak. Masih gagah, awet muda bila diingat bahwa usianya sebenarnya telah mencapal 104 tahun! Inikah keturunan Pangeran Diponegoro?


>BRMH. Hartogh Diponegoro ketika masih muda, (kanan), Ramo Dipo, kini (kiri)


Romo Dipo, duduk dengan enak kemudian mulai mengisahkan riwayat leluhurnya. Mungkin kisah ini tak dijumpai dalam sejaran dan mungkin berbeda dengan sejarah versi Belanda atau kraton, tetapi tanpa bermaksud mengubah jalannya sejarah, apa yang dituturkannya hanyalah kisah seperti yang didengarnya dari leluhurnya sedara turun temurun,


Ketika Pangaran Dipanegoro dibuang oleh Belanda bersama seluruh putra-putranya ke Ambon, diketahuilah oleh residen Belanda dan patih kraton bahwa ada salah seorang putra Pangeran Diponegoro yang tertinggal, yaitu Pangeran Djonet. Pangeran ini bersembunyi di rumah pamannya Pangeran Atmokusumo dimana tinggal pula ibunda Pangeran Djonet. Belanda lalu mengadakan sayembara: Barang siapa bisa menangkap hidup atau mati Pangeran Djonet akan diberi hadiah uang sebanyak 25 real. Seorang lurah dari kraton Yogyakarta menyanggupinya dan meminta uang muka sebanyak 5 real untuk mengadakan selamatan lebih dahulu.


Ketika mendengar rencana kejam itu Pangeran Atmokusumo memerintahkan keponakannya untuk menyingkir ke Batavia. Tiga hari kemudian datanglah lurah kraton menghadap ibunda Pangeran Djonet mencari Pangeran Djonet dengan alasan meminta berkah selamatan yang sedang diadakan. Mendengar bahwa sudah tiga hari Pangeran Djonet tidak pulang, timbullah kekhawatiran Ki Lurah bahwa apabila ia tidak bisa menangkap Pangaran Djonet hidup atau mati, jiwanya sendiri akan terancam. Akal liciknya pun timbul. Dimintanya Halil, jejaka kemenakan ibunda Pangeran Djonet untuk menggantikan Pangeran Djonet.


Ki Lurah meminta agar Halil diberi pakaian Pangeran Djonet, "Sebab dengan pakaiannya saja sudah cukup mendapat berkahnya,” katanya. Maka dibawalah Halil ke Istana, lengkap dengan pakaian seorang pangeran, yang melihat mengira bahwa itulah Pangeran Djonet.


Namun apa yang terjadi? Rupanya di sana telah dipersiapkan suatu rencana pembunuhan. Halil dibunuh beramai-ramai. Jenazahnya dimakamkan di desa Godean, sebelah barat kota Yogya. Pangeran Djonet sendiri setelah menyingkir ke Batavia, kemudian pindah ke Bogor. Di tempat inilah ia mendirikan sebuah kampung yang diberi nama Kampung Jawa.


> Romo Dipo beserta Istri dan anak cucu.


Samentara itu seluruh keluarga Pangeran Diponegoro yang lain ada di luar Jawa. Lewat sebuah peristiwa, salah seorang di antaranya bisa kembali ke Pulau Jawa. Bermula dari munculnya seorang perusuh yang masih berdarah ningrat dari Kraton Surakarta, bernama Gusti Banson yang dibantu oleh kedua temannya. Tak satu pun penduduk yang berani melawan kebrutalannya.

Mungkin karena ia masih termasuk keluarga kraton, orang segan melawannya. Puncak kejahatannya ialah merampok rumah seorang lurah dan membunuh penjaganya. Perbuatannya ini membuat pihak kraton benar-benar angkat tangan dan berkirim surat kepada Gubernur Jendral di Batavia agar menangkap Gusti Banson.


Gubernur lalu memberi jawaban, bahwa siapa saja keturunan Pangeran Diponegoro yang bisa menangkap Gusti Banson, boleh kembali ke Jawa. Muncullah kemudian cucu Pangeran Djonet yang bernama Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Abdurrahim Diponegoro yang tak lain ayah dari Romo Dipo sendiri. Gusti Banson berhasil ditangkap di desa Gejayan, Wonosobo tetapi kedua temannya berhasil melarlkan diri. Sesuai dengan janji, ayah Romo Dipo dan keluarganya diperkenankan menetap di Jawa. Mereka mula-mula tinggal di Bogor kemudian pindah ke Jakarta dan akhirnya ke Probolinggo. Inilah kesempatan baik bagi keluarga Abdurrahim Diponegoro untuk mengirim putra tunggalnya ke bangku pendidikan yang lebih tinggi. Di kota ini Romo Dipo belajar di Akademi Pendidikan Dalam Negeri zaman Belanda dulu. Setelah lulus ia ditugaskan oleh pemerintah Belanda ke Ambon. Dua tahun ia bertugas di sana kemudian meminta berhenti dengan hormat. “Habis, sama saja dibuang kembali oleh Belanda ke Ambon,“ kenangnya.


Menikah di negri orang


Dari Ambon, Romo Dipo kembali ke Jawa dan melanjutkan sekolah di HBS. Lulus dari sekolah ini ia dikirim orang tuanya keliling dunia. "Zaman dulu membayar kepada Belanda sebesar 1.000 gulden sudah bisa keliling dunia,” katanya tertawa. Hasil keliling dunia itu selain pengalaman, ia - tanpa memperinci lebih jalas - sempat menyunting gadis-gadis di sana. Yang pertama adalah seorang gadis Jerman yang memberinya empat orang anak. Kemudian setelah berpisah ia menikah kembali dengan seorang wanita Belanda, menghasilkan 4 orang anak pula. Perkawinan ini berakhir pula sampai ia kemudian menyunting seorang wanita Prancis yang juga memberinya 4 orang anak. Ketika kembali ke Indonesia, ia menikah dengan seorang Indo Belanda yang memberinya sepasang anak, laki-laki dan perempuan.


Ketika perlawanan terhadap Belanda timbul di mana-mana, Romo Dipo ikut bergabung. Sebagai keturunan pejuang tak anah bila ia juga mempunyal darah pejuang. Di daerah Petetan, Solo, ia beretmpur melawan Belanda. Di Jatingaleh, Semarang, ia juga berjuang bersama teman-temannya ketika Jepang menyerbu. Dari sejumlah 45 orang pasukan, yang hidup tinggal 6 orang, termasuk Romo Dipo. Ia penasaran melihat teman-temannya tewas ditembak dari atas atap. Diam-diam ia naik ke atap, dan di sana disapunya sendiri orang-orang yang mengakibatkan tewasnya teman-temannya. Sampai kini ia masih terus aktif mengikuti perkembangan politik dan situasi di Indonesia. "Orang yang tidak mengikuti perkembangan politik mau jadi apa?” katanya lantang.


Dalam usia 78 tahun, Romo Dipo yang telah berpisah dengar Istri-istrinya - yang seluruhnya memberinya anak 14 orang ternyata masih juga dekat dengan jodohnya. Ia menyunting seorang gadis asal Solo, Sumini yang usia nya 59 tahun!


“Saya hanya merasa melas, kata Sumini ketika ditanyakan bagaimana mulanya jatuh cinta pada pria yang usianya jauh di atasnya. Pada mulanya pertemuannya bahkan tidak ’‘manis”’.


Suatu siang, gadis Sumini bersama kawan-kawannya bersepeda melewati rumah Romo Dipo, yang saat itu sedang membaca koran di depan rumah. Selagi Sumini mengayuh dengan santai tiba-tiba sepedanya tergelincir oleh batu kerikil yang bertebaran di jalan. Sumini terjatuh. Buru-buru Romo Dipo memberikan pertolongan sambil memeluk Sumini yang kesakitan. Tetapi, walau yang menolongnya seorang tua (saat itu Romo Dipo telah berusia 78 tahun, sementara Sumini baru 19 tahun), Sumini marah.

"Orang tua tidak punya aturan!” bentaknya. Romo Dipo yang tak mengira sama sekali bahwa ia akan mendapat “'perlawanan,’” bingung. “'Hus, saya keturunan Pangeran Diponegoro,” ucapnya. “Tidak peduli,” Sumini masih marah.


"Bayangkan, zaman dulu seorang gadis kan malu dipeluk laki-laki,” katanya tertawa mengingat saat itu. Namun pria yang dimarahinya karena memeluknya itulah yang kemudian justru menjadi suaminya. Entah kenapa, rasanya ia jadi merasa tak bisa dipisahkan. Seperti ada Suara yang membisikkan, bahwa orang yang sudah sepuh itulah kelak "lawannya”. Maka jadilah perkawinan antara BRMG Hartogh Diponegoro kelahiran Makassar tahun 1878 dan gadis Sumini, siswi SGB II yang baru berusia 19 tahun. Perkawinan ini dianugerahi putra-putri 9 orang (yang seorang meninggal dunia) dan semua mempunyai nama belakang Diponegoro.


Panjang umur, awet muda


Dalam usia lebih dari satu abad itu, wajah Romo Dipo masih nampak segar, suaranya lantang, pendengarannya jelas, ingatannya juga gamblang, mata masih terang bahkan kadang berbinar-binar bila membicarakan sesuatu. Apa resepnya awet muda? “Pikiran tenang, bebas. Begitu pun hati kita,” kaatnya. Ia kemudian menambahkan bahwa dalam diri manusia itu mengalir dua macam darah, darah merah dan darah putih. Darah merah yang menurut beliau mengalir di sebelah kiri, dilihat dari mata rohani bisa erwujud raksasa, atau iblis yang hidup dalam kegelapan. Sedang di sebelah kanan, mengalir darah putih yang juga dengan penglihatan berwujud malaikat yang bersifat terang. Bila kita bersedih, itu berarti ada “kerusakan” di dalam. Kitalah yang harus pandai mengatur. Kerusakan itu harus diperbaiki. Ibarat raksasa yang hidup dalam kegelapan masuk ke dalam terang, lalu timbul peperangan perebutan kekuasaan antara raksasa dan malaikat, untuk memerintah manusia. Kalau malaikat menang, maka teranglah yang akan menguasai manusia. Begitu pun sebaliknya, bila raksasa kalah, kegelapanlah yang menguasai kita. Dengan menjaga keseimbangan dalam tubuh kita, bagaikan peperangan antara raksasa dan malaikat, kita bisa menjaga tubuh kita agar awet muda, panjang umur. Romo Dipo menambahkan, “Jangan gampang didera oleh persoalan yang menguras tenaga, pikiran dan perasaan yang akan menggoncangkan keseimbangan kita. Sebab akibatnya langsung bukan hanya kepada jiwa tetapi juga raga kita yang merupakan wadah pun akan rusak pula.”


Sebagai seorang yang sepuh, melakukan semedi sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan jiwa rupanya dilakukannya pula. Ngracut, mengerahkan cipta, melihat ke dalam diri sendiri.

Dengan cara ini, orang bahkan bisa masuk ke dalam rohani orang lain. “Gunanya untuk melihat keadaan yang di dalam. Kalau gelap, artinya yang bersangkutan sedang susah,” itu kata Romo Dipo yang mewariskan ke ahliannya ini pada anak cucu. "Sebagai bekal. Agar dalam hidup anak cucu kelak, tak tergelincir dalam perjalanan yang jelek,” katanya pula.


Menolong Orang lain


Romo Dipo membuka praktek untuk menghidupi keluarganya. Mengobati penyakit, “bukan penyakitnya itulah yang diobati, tetapi penyebabnya itu yang dibenahi. Selama penyebabnya masih ada dan belum dilenyapkan, penyakit itu pun tetap tinggal. Apabila penyebabnya sudah dilenyapkan dengan sendirinya orang akan sembuh kembali,” Romo Dipo memberi penjelasan. Manusia jangan hanya mendandani yang di luar saja dengan bedak dan atau gincu tetapi yang terpenting adalah bagaimana menata yang ada dalam diri kita,” lanjustnya pula. Banyak orang yang datang ke sana untuk meminta berkahnya. ”Setiap jam tiga malam saya selalu memohon kepada Allah agar saudara-saudara yang, meminta pertolongan dianugerahi rasa aman, tentram dan terpenuhi apa yang diinginkan,“ kata Romo Dipo, "tentu saja sejauh tidak merugikan orang lain,” sambungnya pula.


> Usia 104 tahun dan masih nampak gagah.


Selain menolong orang lain, Romo Dipo juga gemar memelihara pusaka warisan turun temurun dari leluhurnya. Pusaka itu berwujud patung-patung, keris dan tongkat. Di antara patung-patung koleksinya adalah patung yang disebut Ratu Hendra, istri Raja Mahendra. Konon, patung tersebut menjelang pemilu yang lalu pernah mengeluarkan darah di lambung kirinya. "Itu tandanya akan terjadi huru hara,” kata Romo Dipo. (Kabarnya, kemudian timbullah peristiwa Lapangan Banteng yang lalu). Ia juga memiliki pusaka berwujud tongkat bergambar kepala naga bernama Pusaka Sakti dan Pusaka Naga Jaya sakti. Konon keampuhan Pusaka Naga Jaya Sakti adalah untuk menumpas huru-hara. Kabarnya pula, pusaka ini pernah pula diingini oleh almarhum presiden pertama RI, Soekarno. Semua pusaka warisan itu disimpan di sebuah almari kaca yang diberi sajian dan bunga dan dikeluarkan setiap bulan sura.


Dengan istri yang setia mendampinginya selama 26 tahun, putra-pura yang tersebar di Indonesia dan yang datang menengoknya di waktu-waktu tertentu, nampak membuat Romo Dipo merasa tenang. "Jarang sekali sakit,” komentar istrinya tentang sang suami. Ada jamunya? Romo Dipo tersenyum, "Jamunya hanyalah ketentraman,” kata keturunan Diponegoro ini.

diponegoro
image

Diponegoro
‘Dipo Negoro/ Hoofd der muitelingen /op Java.’
signature: ‘A.J. Bik/ naar het leven geteekend./ Batavia 1830.’
Tekening maakt deel uit van een album.
draughtsman: Adrianus Johannes Bik (mentioned on object)
Place: Batavia, 1830
Material: paper pencil
Measurements: height 368 mm × width 289 mm
Gift of J.F. Bik, Batavia
Acquisition 1898
Copyright: Public domain

Full Highres TIF version: https://archive.org/details/diponegoro-bik-april-1830-rijksmuseum

image

Currently there are about 20,000 chemical manufacturing sites in the world vs 439 nuclear reactors in operation. If we scale the number of nuclear power plants to the veracity of chemical sites up, we would have at least 80 Chernobyl/Fukushima nuclear meltdowns by now.